Saturday, 25 June 2011

ulama warisatul anbia'

Imam Muslim (202 – 261H)
Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.



Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta’dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
Reputasinya mengikuti gurunya Imam Bukhari
Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim begitu monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.
Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.
Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.
Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. “Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits,” pintanya, ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.
Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya — sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin dari Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam).” Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, “Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits.”
Kitab Shahih Muslim
Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.
Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.
Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.
Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.
Antara al-Bukhari dan Muslim
Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.
Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan dalam keshahihan hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar sebagai as-Shahihain.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan “kemungkinan” bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan — sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar —, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih Muslim.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti:
1) Al-Asma’ wal-Kuna,
2) Irfadus Syamiyyin,
3) Al-Arqaam,
4) Al-Intifa bi Juludis Siba’,
5) Auhamul Muhadditsin,
7)At-Tarikh,
8) At-Tamyiz,
9) Al-Jami’,
10) Hadits Amr bin Syu’aib,
11) Rijalul ‘Urwah,
12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal,
13) Thabaqat, 14) Al-I’lal,
15) Al-Mukhadhramin,
16) Al-Musnad al-Kabir,
17) Masyayikh ats-Tsawri,
18) Masyayikh Syu’bah,
19) Masyayikh Malik,
20) Al-Wuhdan,
21) As-Shahih al-Masnad.
Kitab-kitab nomor 6 (???, tidak ada, orgawam), 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.
Wafatnya Imam Muslim
Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Amiin.


Imam Ahmad bin Hanbal (164 – 241H)


Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang ulama dan intelektual Muslim terpenting dalam sejarah peradaban Islam. Umat Islam di Indonesia biasa menyebutnya Imam Hambali. Sosok ahli fikih pendiri Mazhab Hambali itu begitu populer dan legendaris. Namun, ulama yang hafal satu juta hadis dan selalu tampil bersahaja itu tak pernah ingin apalagi merasa dirinya terkenal. “Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas,” tutur sang Imam.
Ia juga dikenal sebagai ulama yang berotak brilian. Kecerdasannya diakui para ulama besar di zamannya. Penulis sederet kitab penting bagi umat Islam itu juga dikenal sebagai seorang ulama yang berilmu tinggi, saleh, dan berakhlak mulia. Kemuliaan yang ada dalam diri Imam Ahmad bin Hanbal telah membuat guru-gurunya kagum dan bangga. “Setelah saya keluar dari Baghdad, tak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih saleh, dan yang lebih berilmu daripada Ahmad bin Hanbal,” ujar Imam Syafi’i, sang guru.
Imam Syafi’i menjuluki muridnya itu sebagai imam dalam delapan bidang. “Ahmad bin Hanbal adalah Imam dalam hadis, Imam dalam fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Alquran, Imam dalam kefakiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’, dan Imam dalam sunah,” tutur Imam Syafi’i. Sebuah pengakuan yang tulus dari seorang guru kepada murid yang dibanggakannya. Kekaguman serupa juga diungkapkan gurunya yang lain, Abdur Rozzaq Bin Hammam. “Saya tidak pernah melihat orang se-faqih dan se-wara’ Ahmad bin Hanbal,” ungkap Abdur Rozzaq. Ibrahim Al-Harbi pun berdecak kagum dengan sosok Ahmad bin Hanbal. “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu,” ungkapnya.
Ulama penting yang rendah hati itu bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Abu `Abdullah al-Shaybani. Ia terlahir di Merv, Asia Tengah (sekarang Turkmenistan), pada 20 Rabiul Awal tahun 164 H. Ada pula yang menyebut sang Imam lahir di Baghdad, Irak. Saat berada dalam kandungan sang bunda, Imam Ahmad bin Hanbal diajak ibunya hijrah ke metropolis intelektual dunia ketika itu, yakni Baghdad. Sejak masih bayi, Imam Ahmad bin Hanbal sudah menjadi anak yatim. Ia dibesarkan oleh sang ibu seorang diri. Ia merupakan keturunan dari suku Shayban. Sejak belia, Imam Ahmad bin Hanbal berbeda dengan anak seusianya. Ia dikenal sebagai anak yang alim, bersih, dan senang menyendiri. Kecintaan dan rasa takut untuk berbuat dosa kepada Allah SWT telah terpatri dalam hati nurani Ahmad bin Hanbal sejak dini.
Syahdan, sang paman, suatu hari memintanya menjadi seorang informan untuk khalifah. Ia diminta untuk menyerahkan dokumen berisi informasi sejumlah orang untuk diserahkan ke kantor khalifah. Meski masih anak-anak, Ahmad bin Hanbal tahu apa yang dilakukannya adalah hal yang bertentangan dengan nurani. Suatu hari sang paman menanyakan dokumen itu. “Aku tak akan menyerahkan dokumen itu dan aku telah membuangnya ke laut,” tutur Ahmad bin Hanbal. Sang paman pun dibuat takjub dengan sikap dan keberanian keponakannya itu. “Anak kecil ini ternyata sangat takut kepada Allah. Lalu, bagaimana dengan kita?” ucap sang paman dengan perasaan malu, karena anak kecil ternyata lebih takut kepada Sang Khalik, dibanding dirinya.
Fikih adalah ilmu agama pertama yang dipelajarinya secara khusus. Ia berguru pada Abu Yusuf–murid terkemuka sekaligus sahabat Abu Hanifah. Setelah mempelajari fikih, Ahmad bin Hanbal lalu menimba ilmu hadis. Ia melanglang buana dari satu negeri Islam ke negeri lainnya demi mendapatkan ilmu yang dicarinya. Petualangan menimba ilmu itu dilakukannya saat dia berusia 16 tahun. Sebagai seorang murid yang cerdas dan baik, Ahmad bin Hanbal disayangi oleh semua gurunya. Ia pun selalu menaruh hormat kepada semua gurunya tanpa membeda-bedakan.
Gurunya terbilang sangat banyak. Ibnu Al-Jawzi menuturkan, Imam Ahmad bin Hanbal memiliki 414 guru hadis. Beberapa gurunya yang terkenal, di antaranya Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin `Uyainah, Abdurrazaq, serta Ibrahim bin Ma’qil.
Salah seorang guru yang paling dicintainya adalah Imam Syafi’i. Ia begitu bangga kepada kemampuan sang guru yang luar biasa dalam ilmu fikih. Setelah mencurahkan waktunya selama 40 tahun untuk menimba ilmu agama, Imam Ahmad bin Hanbal pun menjadi ulama yang berpengaruh. Ia menduduki jabatan penting dalam masyarakat Islam saat itu, yakni sebagai Mufti.
Kehebatan Imam Ahmad bin Hanbal dalam ilmu hadis sudah tak perlu diragukan. Ia adalah seorang ulama yang sangat ahli dalam ilmu yang satu ini. Kitab Al-Musnad Al-Kabir–ensiklopedia hadis–yang sangat monumental, ini memuat tak kurang dari 27 ribu hadis. Ini merupakan karya masterpiece sang Imam dan penelitian hadis yang dinilai terbaik.
Dalam bidang fikih, Imam Ahmad bin Hanbal dikenal sebagai pendiri Mazhab Hambali. Ia sungguh beruntung karena bisa belajar dari ahli fikih termasyhur yang juga dikenal sebagai pendiri tiga mazhab lainnya, seperti Abu Hanifah (Imam Hanafi), Imam Syafi’i, dan Imam Maliki. Imam Hambali telah melakukan improvisasi dan pengembangan dari mazhab-mazhab sebelumnya. Sang Imam pun sangat ahli dalam urusan bahasa dan sastra. Ia sangat berjasa dalam pengembangan bahasa Arab. Ia tercatat sebagai ulama yang menekankan pentingnya penggunaan tata bahasa Arab secara tepat dan pelafalan kata-kata secara benar. Selain ahli dalam tata bahasa, Imam Ahmad bin Hanbal juga dikenal pandai merangkai kata menjadi syair dan puisi. Pengetahuannya tentang ilmu Alquran juga sungguh luar biasa. Sebagai Imam dalam ilmu Alquran, Ahmad bin Hanbal sangat menguasai Tafsir Alquran. Ia pun ahli dalam ilmu Al-Nasikh wal Mansukh. Ia pun megembangkan gaya qiraat yang lain dari yang lain. Ia tak suka dengan gaya qiraat yang terlalu berlebihan memanjang-manjangkan bacaan hamzah. Ia juga dikenal sebagai Imam Ahlu Sunnah.
Keyakinannya kepada Allah SWT dan pemahamannya mengenai agama Islam sempat berlawanan dengan penguasa Abbasiyah saat itu, Khalifah Al-Ma’mun. Khalifah yang saat itu mulai gandrung pada filsafat pada tahun 212 H, mulai memaksakan pandangannya tentang Alquran. Menurut Al-Ma’mun, Alquran adalah makhluk. Para ulama dipaksa untuk sepaham dengan pendapatnya. Imam Ahmad bin Hanbal pun dites oleh khalifah. Bersama sahabatnya, Muhammad ibnu Nuh, sang imam menolak untuk sepaham dengan penguasa. Menurutnya, Alquran adalah kalamullah bukanlah makhluk. Ia pun dipenjara akibat keteguhan keyakinannya. Situasi berubah ketika Khalifah Al-Mutawakkil menghentikan perdebatan mengenai Alquran. Status sang Imam pun dipulihkan.
Imam Ahmad bin Hanbal dikaruniai delapan anak. Ia sempat lima kali menunaikan ibadah haji ke Makkah, dua kali di antaranya ditempuh dengan berjalan kaki. Setelah sembilan hari sakit, pada Jumat tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun 241 H, di usianya yang ke-77, sang Imam tutup usia di Kota Baghdad, Irak.
Jasa dan kontribusi sang Imam dalam mengembangkan ilmu agama hingga saat ini tetap dikenang sepanjang zaman. Ia adalah Imam yang layak ditiru dan diteladani setiap Muslim.  Warisan Sang Imam untuk Umat Imam Ahmad bin Hanbal telah meninggalkan sederet warisan berupa kitab-kitab ilmu agama yang ditulis sepanjang hidupnya. Berikut ini adalah karya sang Imam:
* Kitab Al Musnad Al-Kabir: memuat lebih dari 27 ribu hadis.
* Kitab at-Tafsir. Menurut Adz-Dzahabi, kitab ini telah hilang.
* Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
* Kitab at-Tarikh
* Kitab Hadis Syu’bah
* Kitab al-Muqaddam wa al-Mu’akkhar fi Alquran
* Kitab Jawabah Alquran
* Kitab al-Manasik al-Kabir
* Kitab al-Manasik as-Saghir
* Kitab al-’Ilal
* Kitab al-Manasik
* Kitab az-Zuhd
* Kitab al-Iman
* Kitab al-Masa’il
* Kitab al-Asyribah
* Kitab al-Fadha’il
* Kitab Tha’ah ar-Rasul
* Kitab al-Fara’idh
* Kitab ar-Radd ala al-Jahmiyyah Ulama Terkemuka Pengikut Mazhab Hambali


Ulama-Ulama Hanbaliyah
Al-Khallal (wafat 311 H) adalah seorang pelajar dari sahabat dekat dan murid Imam Hambali. Ia berjasa telah mengumpulkan tanggapan Imam Ahmad bin Hanbal dari murid-muridnya yang tersebar di seluruh dunia Islam.
Al-Khiraqi (wafat 334 H). Ia adalah ulama yang meringkas Jami’ al-Khallal ke dalam sebuah buku pegangan fikih, induk dari seluruh buku pegangan fikih dalam Mazhab Hambali.
Ghulam al-Khallal (wafat 363 H). Ia adalah murid Al-Khallal dan penulis sejuhmlah kitab dalam berbagai disiplin ilmu.
Ibnu Hamid (wafat 403 H). Ulama yang satu ini tercatat sebagai penganut Mazhab Hambali terkemuka di zamannya. * Al-Qadhi Abu Ya’la (wafat 458 H). Sejatinya dia adalah ulama yang terlahir dari keluarga yang menganut Mazhab Hanafi. Setelah belajar dari Ibnu Hamid, ia akhirnya menjadi ulama yang mengembangkan Mazhab Hambali.
Abu al-Khattab (wafat 510 H). Ia adalah murid dari Al-Qadhi Abu Ya’la. Abu Al-Khattab tercatat sebagai penulis sederet kitab yang juga sangat penting dalam pengembangan Mazhab Hambali. Salah seorang muridnya adalah `Abd al-Qadir al-Jailani.
Abu Isma’il al-Harawi (wafat 481 H). Ia adalah ulama dan ahli hukum yang beraliran Mazhab Hambali. Ia dikenal sebagai salah seorang Sufi terkemuka dalah sejarah. Kitabnya yang paling terkenal adalah Manazil al-Sa’irin, sebuah buku pegangan dalam Tasawuf.
Abdul-Qadir al-Jailani (wafat 561 H). Ia adalah ulama bermazhab Hambali. Seorang pemuka agama yang hebat dan sufi yang berpengaruh. Ia pendiri Tarekat Qadiriyah. *)
Ibnu al-Jawzi (wafat 597 H). Dikenal sebagai ahli hukum, ahli tafsir yang turut mengembangkan Mazhab Hambali.
Ibnu Qudama al-Maqdisi (wafat 620 H). salah seorang ulama terkemuka yang mengembangkan Mazhab Hambali. Ia termasyhur lewat buku hukumnya yang berjudul Al-Mughni.
Majd al-Din Ibn Taymiyah (wafat 653 H). Pakar bahasa, ahli hukum, dan tafsir dari Harran ini juga dikenal sebagai ulama yang mengembangkan Mazhab Hambali. Taqi al-Din Ibn Taymiyah (wafat 728 H). Inilah tokoh legendaris dalam sejarah Islam. dok/rep/Desember 2008/heri ruslan


Imam Abu Dawud (202 – 275 H)
Setelah Imam Bukhari dan Imam Muslim, kini giliran Imam Abu Dawud yang juga merupakan tokoh kenamaan ahli hadith pada zamannya. Kealiman, kesalihan dan kemuliaannya semerbak mewangi hingga kini.
Abu Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin ‘Amr al-Azdi as-Sijistani, seorang imam ahli hadith yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadith setelah dua imam hadith Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.

Perkembangan dan Perlawatannya
Sejak kecilnya Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan para ulama, bergaul dengan mereka untuk dapat mereguk dan menimba ilmunya. Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya untuk mengadakan perlawatan, mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar hadith dari para ulama yang tidak sedikit jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lain. Perlawatannya ke berbagai negeri ini membantu dia untuk memperoleh pengetahuan luas tentang hadith, kemudian hadith-hadith yang diperolehnya itu disaring dan hasil penyaringannya dituangkan dalam kitab As-Sunan. Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia mengajarkan hadith dan fiqh kepada para penduduk dengan memakai kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadith, Ahmad bin Hanbal.
Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat indah dan baik. Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernur setempat yang menghendaki supaya Basrah menjadi “Ka’bah” bagi para ilmuwan dan peminat hadith.
Guru-gurunya
Para ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak jumlahnya. Di antaranya guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad bin Hanbal, al-Qa’nabi, Abu ‘Amr ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja’, Abu’l Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebahagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah dan Qutaibah bin Sa’id.
Murid-muridnya (Para Ulama yang Mewarisi Hadithnya)
Ulama-ulama yang mewarisi hadithnya dan mengambil ilmunya, antara lain Abu ‘Isa at-Tirmidzi, Abu Abdur Rahman an-Nasa’i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa’id al-A’rabi, Abu Ali al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi dan lain-lain.
Cukuplah sebagai bukti pentingnya Abu Dawud, bahawa salah seorang gurunya, Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadith yang diterima dari padanya. Hadith tersebut ialah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Hammad bin Salamah dari Abu Ma’syar ad-Darami, dari ayahnya, sebagai berikut: “Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘atirah, maka ia menilainya baik.”
Akhlak dan Sifat-sifatnya yang Terpuji
Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai darjat tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara’ dan kesalehannya. Ia adalah seorang sosok manusia utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan keperibadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebahagian ulama yang menyatakan:
“Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta keperibadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki’, Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha’i, Ibrahim menyerupai ‘Alqamah dan ia menyerupai Ibn Mas’ud. Sedangkan Ibn Mas’ud sendiri menyerupai Nabi SAW dalam sifat-sifat tersebut.”
Sifat dan keperibadian yang mulia seperti ini menunjukkan atas kesempurnaan keberagamaan, tingkah laku dan akhlak.
Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab:
“Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-lebihan.
Pujian Para Ulama Kepadanya
Abu Dawud adalah juga merupakan “bendera Islam” dan seorang hafiz yang sempurna, ahli fiqh dan berpengetahuan luas terhadap hadith dan ilat-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Dawud:
“Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk hadith, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia.”
Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Dawud. Lalu dikatakan kepadanya: “Ini adalah Sahal, datang berkunjung kepada tuan.”
Abu Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata: “Wahai Abu Dawud, saya ada keperluan keadamu.” Ia bertanya: “Keperluan apa?” “Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan memenuhinya sedapat mungkin,” jawab Sahal. “Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu,” tandan Abu Dawud. Lalu Sahal berkata: “Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk meriwayatkan hadith dari Rasulullah SAW. sehingga aku dapat menciumnya.” Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang kemudian dicium oleh Sahal.
Ketika Abu Dawud menyusun kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadith berkata: “Hadith telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Dawud.” Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadith. Ia telah mempermudah yang sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit dan pelik.
Abu Bakar al-Khallal, ahli hadith dan fiqh terkemuka yang bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as, imam terkemuka pada zamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu Dawud kerana ketinggian darjatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun pada masanya.
Madzhab Fiqh Abu Dawud
Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam asy-Syairazi dalam Tabaqatul-Fuqaha-nya menggolongkan Abu Dawud ke dalam kelompok murid-murid Imam Ahmad. Demikian juga Qadi Abu’l-Husain Muhammad bin al-Qadi Abu Ya’la (wafat 526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya. Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad merupakan gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Dawud adalah bermadzhab Syafi’i.
Menurut pendapat yang lain, ia adalah seorang mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematika Sunan-nya. Terlebih lagi bahawa kemampuan berijtihad merupakan salah satu sifat khas para imam hadith pada masa-masa awal.
Memandang Tinggi Kedudukan Ilmu dan Ulama
Sikap Abu Dawud yang memandang tinggi terhadap kedudukan ilmu dan ulama ini dapat dilihat pada kisah berikut sebagaimana dituturkan, dengan sanad lengkap, oleh Imam al-Khattabi, dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Ia berkata:
“Aku bersama Abu Dawud tinggi di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika kami selesai menunaikan shalat Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu pintu aku buka dan seorang pelayan melaporkan bahawa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq mohon ijin untuk masuk. Kemudian aku melapor kepada Abu Dawud tentang tamu ini, dan ia pun mengijinkan. Sang Amir pun masuk, lalu duduk. Tak lama kemudian Abu Dawud menemuinya seraya berkata: “Gerangan apakah yang membawamu datang ke sini pada saat seperti ini?”
“Tiga kepentingan,” jawab Amir. “Kepentingan apa?” tanyanya.
Amir menjelaskan, “Hendaknya tuan berpindah ke Basrah dan menetap di sana, supaya para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia datang belajar kepada tuan; dengan demikian Basrah akan makmur kembali. Ini mengingat bahawa Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedy Zenji.”
Abu Dawud berkata: “Itu yang pertama, sebutkan yang kedua!”
“Hendaknya tuan berkenan mengajarkan kitab Sunan kepada putra-putraku,” kata Amir.
“Ya, ketiga?” Tanya Abu Dawud kembali.
Amir menerangkan: “Hendaknya tuan mengadakan majlis tersendiri untuk mengajarkan hadith kepada putra-putra khalifah, sebab mereka tidak mau duduk bersama-sama dengan orang umum.”
Abu Dawud menjawab: “Permintaan ketiga tidak dapat aku penuhi; sebab manusia itu baik pejabat terhormat maupun rakyat melarat, dalam bidang ilmu sama.”
Ibn Jabir menjelaskan: “Maka sejak itu putra-putra khalifah hadir dan duduk bersama di majlis taklim; hanya saja di antara mereka dengan orang umum di pasang tirai, dengan demikian mereka dapat belajar bersama-sama.”
Maka hendaknya para ulama tidak mendatangi para raja dan penguasa, tetapi merekalah yang harus datang kepada para ulama. Dan kesamaan darjat dalam ilmu dan pengetahuan ini, hendaklah dikembangkan apa yang telah dilakukan Abu Dawud tersebut.
Tanggal Wafatnya
Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan aktivitas ilmia, menghimpun dan menyebarluaskan hadith, Abu Dawud meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada tanggal 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.
Karya-karyanya
Imam Abu Dawud banyak memiliki karya, antara lain:
• Kitab AS-Sunnan (Sunan Abu Dawud).
• Kitab Al-Marasil.
• Kitab Al-Qadar.
• An-Nasikh wal-Mansukh.
• Fada’il al-A’mal.
• Kitab Az-Zuhd.
• Dala’il an-Nubuwah.
• Ibtida’ al-Wahyu.
• Ahbar al-Khawarij.
Di antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan masih tetap beredar adalah kitab Amerika Serikat-Sunnan, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Abi Dawud.
Kitab Sunan Karya Abu Dawud
Metode Abu Dawud dalam Penyusunan Sunan-nya
Karya-karya di bidang hadith, kitab-kitab Jami’ Musnad dan sebagainya disamping berisi hadith-hadith hukum, juga memuat hadith-hadith yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada’il a’mal) kisah-kisah, nasehat-nasehat (mawa’iz), adab dan tafsir. Cara demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadith-hadith hukum dan sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik.
Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadith-hadith shahih semata sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia memasukkan pula kedalamnya hadith shahih, hadith hasan, hadith dha’if yang tidak terlalu lemah dan hadith yang tidak disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya. Hadith-hadith yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya.
Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya. Abu Dawud menulis sbb:
“Aku mendengar dan menulis hadith Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadith yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadith-hadith shahih, semi shahih dan yang mendekati shahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah hadith pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Segala hadith yang mengandung kelemahan yang sangat ku jelaskan, sebagai hadith macam ini ada hadith yang tidak shahih sanadnya. Adapun hadith yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadith tersebut bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan sebahagian dari hadith yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur’an, yang harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat buah hadith saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang. Hadith tersebut adalah, yang ertinya:
Pertama: “Segala amal itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap or memperoleh apa yang ia niatkan. Kerana itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya kerana untuk mendapatkan dunia atau kerana perempuan yang ingin dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu.”
Kedua: “Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya.”
Ketiga: “Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya.”
Keempat: “Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menghindari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai larangan. Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging, jika ia baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, ia itu hati.”
Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam suratnya. Perkataan Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Hadith pertama adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah.
Hadith kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia.
Hadith ketiga, mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik dalam pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat egoistis, dan membuang sifat iri, dengki dan benci, dari hati masing-masing.
Hadith keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta cara memperoleh atau mencapai sifat wara’, yaitu dengan cara menjauhi hal-hal musykil yang samar dan masih dipertentangkan status hukumnya oleh para ulama, kerana untuk menganggap enteng melakukan haram.
Dengan hadith ini nyatalah bahawa keempat hadith di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan kebahagiaan.
Komentar Para Ulama Mengenai Kedudukan Kitab Sunan Abu Dawud
Tidak sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujatul Islam, Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: “Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadith-hadith ahkam.” Demikian juga dua imam besar, An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hukum.
Hadith-hadith Sunan Abu Dawud yang Dikritik
Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadith yang dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadith-hadith maudhu’ (palsu). Jumlah hadith tersebut sebanyak 9 buah hadith. Walaupun demikian, disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis “palsu”, namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebahagian ahli hadith, seperti Jalaluddin as-Suyuti. Dan andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, maka sebenarnya hadith-hadith yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadith yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Kerana itu kami melihat bahawa hadith-hadith yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya.
Jumlah Hadith Sunan Abu Dawud
Di atas telah disebutkan bahawa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadith sebanyak 4.800 buah hadith. Namun sebahagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 buah hadith. Perbedaan jumlah ini disebabkan bahawa sebahagian orang yang menghitungnya memandang sebuah hadith yang diulang-ulang sebagai satu hadith, namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadith atau lebih. Dua jalan periwayatan hadith atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadith.
Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1,871 buah bab.
Sumber: Kitab Hadith Shahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah.
.

Imam Tirmidzi (209 – 279 H)
Setelah Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud, kini giliran Imam Tirmidzi, juga merupakan tokoh ahli hadith dan penghimpun hadith yang terkenal. Karyanya yang masyhur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmidzi). Ia juga tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal.
Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak Amerika Serikat-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadith kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur lahir pada 209 H di kota Tirmiz.

Perkembangan dan Lawatannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadith. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Iraq, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadith untuk mendengar hadith yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadith dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadith dari sebahagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadith-hadith dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa at-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadith, kesalehan dan ketaqwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercayai, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid berisi hadith-hadith yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahawa dialah orang yang ku maksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahawa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang ku bawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadith, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadith yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahawa kertas yang ku pegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahawa apa yang ia bacakan itu telah ku hafal semuanya. ‘Cuba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadith yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadith yang tergolong hadith-hadith yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Cuba ulangi apa yang ku bacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”
Pandangan Para Kritikus Hadith Terhadapnya
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadith, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok “Tsiqah” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kukuh hafalannya, dan berkata:
“Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadith, menyusun kitab, menghafal hadith dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”
Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadith menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadith yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Shahih sebagai bukti atas keagungan darjatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadith yang sangat mendalam.
Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya
Imam Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadith yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadith mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut:
“Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: ‘Penangguhan membayar hutang yang dilakukan oleh si berhutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan hutangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan hutang itu diterimanya.”
Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai berikut:
Sebahagian ahli ilmu berkata: “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.” Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Sebahagian ahli ilmu yang lain berkata: “Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).”
Mereka memakai ala an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.”
Menurut Ishak, maka perkataan “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini adalah “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu.”
Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahawa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dalam memahami nas-nas hadith, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
Karya-karyanya
Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:
• Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi.
• Kitab Al-‘Ilal.
• Kitab At-Tarikh.
• Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah.
• Kitab Az-Zuhd.
• Kitab Al-Asma’ wal-kuna.
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebahagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Shahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Shahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasa, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara.”
Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadith shahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadith-hadith hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadith-hadith yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh kerananya, ia meriwayatkan semua hadith yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu shahih ataupun tidak shahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadith.
Diriwayatkan, bahawa ia pernah berkata: “Semua hadith yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh kerana itu, sebahagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadith, yaitu:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.”
“Jika ia peminum khamar – minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.”
Hadith ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadith di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebahagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebahagian besar ahli fiqh dan ahli hadith juga Ibn Munzir.
Hadith-hadith da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fadha’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti kerana persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadith semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadith-hadith tentang halal dan haram.
Sumber: Kitab Hadith Shahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah.
.
 Imam Ibn Majah (209 – 273 H)
Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadith.
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qarwini, pengarang kitab As-Sunan dan kitab-kitab bemanfaat lainnya. Kata “Majah” dalam nama beliau adalah dengan huruf “ha” yang dibaca sukun; inilah pendapat yang shahih yang dipakai oleh mayoritas ulama, bukan dengan “ta” (majat) sebagaimana pendapat sementara orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.
Imam Ibn Majah dilahirkan di Qaswin pada tahun 209 H, dan wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar. Sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abdullah serta putranya, Abdullah.


Pengembaraannya
Ia berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta mempelajari ilmu dan pengetahuan, teristimewa mengenai hadith dan periwayatannya. Untuk mencapai usahanya dalam mencari dan mengumpulkan hadith, ia telah melakukan lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah dan negara-negara serta kota-kota lainnya, untuk menemui dan berguru hadith kepada ulama-ulama hadith. Juga ia belajar kepada murid-murid Malik dan al-Lais, rahimahullah, sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada masanya di dalam bidang ilmu nabawi yang mulia ini.
Aktivitas Periwayatannya
Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Hisyam bin ‘Ammar, Muhammad bin Ramh, Ahmad bin al-Azhar, Bisyr bin Adan dan ulama-ulama besar lain.
Sedangkan hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Isa al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibn Sibawaih, Ishak bin Muhammad dan ulama-ulama lainnya.
Penghargaan Para Ulama Kepadanya
Abu Ya’la al-Khalili al-Qazwini berkata: “Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadith.”
Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz, melukiskannya sebagai seorang ahli hadith besarm mufasir, pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli hadith kenamaan negerinya.
Ibn Kasir, seorang ahli hadith dan kritikus hadith berkata dalam Bidayah-nya: “Muhammad bin Yazid (Ibn Majah) adalah pengarang kitab sunan yang masyhur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada hadith dan usul dan furu’.”
Karya-karyanya
Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:
• Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadith yang Pokok).
• Kitab Tafsir Al-Qur’an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.
• Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.
Sekilas Tentang Sunan Ibn Majah
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibn Majah terbesar yang masih beredar hingga sekarang. Dengan kitab inilah, nama Ibn Majah menjadi terkenal.
Ia menyusun sunan ini menjadi beberapa kitab dan beberapa bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab, 1.500 bab. Sedan jumlah hadithnya sebanyak 4.000 buah hadith.
Kitab sunan ini disusun menurut sistematika fiqh, yang dikerjakan secara baik dan indah. Ibn Majah memulai sunan-nya ini dengan sebuah bab tentang mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dalam bab ini ia menguraikan hadith-hadith yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban mengikuti dan mengamalkannya.
Kedudukan Sunan Ibn Majah di antara Kitab-kitab Hadith
Sebahagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam kelompok “Kitab Hadith Pokok” mengingat darjat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadith yang lima.
Sebahagian ulama yang lain menetapkan, bahawa kitab-kitab hadith yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadith Pokok), yaitu:
• Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari.
• Shahih Muslim, karya Imam Muslim.
• Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
• Sunan Nasa’i, karya Imam Nasa’i.
• Sunan Tirmidzi, karya Imam Tirmidzi.
• Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn Majah.
Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul ‘A’immatis Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz ‘Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebahagian besar ulama yang kemudian.
Mereka mendahulukan Sunan Ibn Majah dan memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab Al-Muwatta’ karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih shahih daripada Sunan Ibn Majah, hal ini mengingat bahawa Sunan Ibn Majah banyak zawa’idnya (tambahannya) atas Kutubul Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta’, yang hadith-hadith itu kecuali sedikit sekali, hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutubul Khamsah.
Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta’ susunan Imam Malik ini sebagai salah satu Usul us-Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibn Majah. Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam’i Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus Sa’adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi’i (wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi’i (wafat 944 H) dalam kitabnya Taysirul Wusul.
Nilai Hadith-hadith Sunan Ibn Majah
Sunan Ibn Majah memuat hadith-hadith shahih, hasan, dan da’if (lemah), bahkan hadith-hadith munkar dan maudhu’ meskipun dalam jumlah sedikit.
Martabat Sunan Ibn Majah ini berada di bawah martabat Kutubul Khamsah (Lima Kitab Pokok). Hal ini kerana kitab sunan ini yang paling banyaknya hadith-hadith da’if di dalamnya.
Oleh kerana itu tidak sayugianya kita menjadikan hadith-hadith yang dinilai lemah atau palsu dalam Sunan Ibn Majah ini sebagai dalil. Kecuali setelah mengkaji dan meneliti terlebih dahulu mengenai keadaan hadith-hadith tersebut. Bila ternyata hadith dimaksud itu shahih atau hasan, maka ia boleh dijadikan pegangan. Jika tidak demikian adanya, maka hadith tersebut tidak boleh dijadikan dalil.
Sulasiyyat Ibn Majah
Ibn Majah telah meriwayatkan beberapa buah hadith dengan sanad tinggi (sedikit sanadnya), sehingga antara dia dengan Nabi SAW hanya terdapat tiga perawi. Hadith semacam inilah yang dikenal dengan sebutan Sulasiyyat.
Sumber: Kitab Hadith Shahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah.
.

Imam Nasa’i (215 – 303 H)
Imam Nasa’i juga merupakan tokoh ulama kenamaan ahli hadith pada masanya. Selain Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ At-Tirmidzi, juga karya besar Imam Nasa’i, Sunan us-Sughra termasuk jajaran kitab hadith pokok yang dapat dipercayai dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith.
Ia adalah seorang imam ahli hadith syaikhul Islam sebagaimana diungkapkan az-Zahabi dalam Tazkirah-nya Abu ‘Abdurrahman Ahmad bin ‘Ali bin Syu’aib ‘Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-Qadi, pengarang kitab Sunan dan kitab-kitab berharga lainnya. Juga ia adalah seorang ulama hadith yang jadi ikutan dan ulama terkemuka melebihi para ulama yang hidup pada zamannya.
Dilahirkan di sebuah tempat bernama Nasa’ pada tahun 215 H. Ada yang mengatakan pada tahun 214 H.


Pengembaraannya
Ia lahir dan tumbuh berkembang di Nasa’, sebuah kota di Khurasan yang banyak melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri kelahirannya itulah ia menghafal Al-Qur’an dan dari guru-guru negerinya ia menerima pelajaran ilmu-ilmu agama yang pokok. Setelah meningkat remaja, ia senang mengembara untuk mendapatkan hadith. Belum lagi berusia 15 tahun, ia berangkat mengembara menuju Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan Jazirah. Kepada ulama-ulama negeri tersebut ia belajar hadith, sehingga ia menjadi seorang yang sangat terkemuka dalam bidang hadith yang mempunyai sanad yang ‘Ali (sedikit sanadnya) dan dalam bidang kekuatan periwayatan hadith.
Nasa’i merasa cocok tinggal di Mesir. Kerananya, ia kemudian menetap di negeri itu, di jalan Qanadil. Dan seterusnya menetap di kampung itu hingga setahun menjelang wafatnya. Kemudian ia berpindah ke Damsyik. Di tempatnya yang baru ini ia mengalami suatu peristiwa tragis yang menyebabkan ia menjadi syahid. Alkisah, ia dimintai pendapat tentang keutamaan Mu’awiyyah r.a. Tindakan ini seakan-akan mereka minta kepada Nasa’i agar menulis sebuah buku tentang keutamaan Mu’awiyyah, sebagaimana ia telah menulis mengenai keutamaan Ali r.a.
Oleh kerana itu ia menjawab kepada penanya tersebut dengan “Tidakkah Engkau merasa puas dengan adanya kesamaan darjat (antara Mu’awiyyah dengan Ali), sehingga Engkau merasa perlu untuk mengutamakannya?” Mendapat jawaban seperti ini mereka naik pitam, lalu memukulinya sampai-sampai buah kemaluannya pun dipukul, dan menginjak-injaknya yang kemudian menyeretnya keluar dari masjid, sehingga ia nyaris menemui kematiannya.
Wafatnya
Tidak ada kesepakatan pendapat tentang di mana ia meninggal dunia. Imam Daraqutni menjelaskan, bahawa di saat mendapat cubaan tragis di Damsyik itu ia meminta supaya dibawa ke Makkah. Permohonannya ini dikabulkan dan ia meninggal di Makkah, kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Safa dan Marwah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Misri dan ulama yang lain.
Imam az-Zahabi tidak sependapat dengan pendapat di atas. Menurutnya yang benar ialah bahawa Nasa’i meningal di Ramlah, suatu tempat di Palestina. Ibn Yunus dalam Tarikhnya setuju dengan pendapat ini, demikian juga Abu Ja’far at-Tahawi dan Abu Bakar bin Naqatah. Selain pendapat ini menyatakan bahawa ia meninggal di Ramlah, tetapi yang jelas ia dikebumikan di Baitul Maqdis. Ia wafat pada tahun 303 H.
Sifat-sifatnya
Ia bermuka tampan. Warna kulitnya kemerah-merahan dan ia senang mengenakan pakaian garis-garis buatan Yaman. Ia adalah seorang yang banyak melakukan ibadah, baik di waktu malam atau siang hari, dan selalu beribadah haji dan berjihad.
Ia sering ikut bertempur bersama-sama dengan gabenor Mesir. Mereka mengakui kesatriaan dan keberaniannya, serta sikap konsistensinya yang berpegang teguh pada sunnah dalam menangani masalah penebusan kaum Muslimin yang tetangkap lawan. Dengan demikian ia dikenal senantiasa “menjaga jarak” dengan majlis sang Amir, padahal ia tidak jarang ikut bertempur besamanya. Demikianlah. Maka, hendaklah para ulama itu senantiasa menyebar luaskan ilmu dan pengetahuan. Namun ada panggilan untuk berjihad, hendaklah mereka segera memenuhi panggilan itu. Selain itu, Nasa’i telah mengikuti jejak Nabi Dawud, sehari puasa dan sehari tidak.
Fiqh Nasa’i
Ia tidak saja ahli dan hafal hadith, mengetahui para perawi dan kelemahan-kelemahan hadith yang diriwayatkan, tetapi ia juga ahli fiqh yang berwawasan luas.
Imam Daraqutni pernah berkata mengenai Nasa’i bahawa ia adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang hadith dan perawi-perawi.
Ibnul Asirr al-Jazairi menerangkan dalam mukadimah Jami’ul Usul-nya, bahawa Nasa’i bermazhab Syafi’i dan ia mempunyai kitab Manasik yang ditulis berdasarkan mazhab Safi’i, rahimahullah.
Karya-karyanya
Imam Nasa’i telah menusil beberapa kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya. Di antaranya:
• As-Sunan ul-Kuba.
• As-Sunan us-Sughra, tekenal dengan nama Al-Mujtaba.
• Al-Khasa’is.
• Fada’ilus-Sahabah.
• Al-Manasik.
Di antara karya-karya tersebut, yang paling besar dan bemutu adalah Kitab As-Sunan.
Sekilas tentang Sunan An-Nasa’i
Nasa’i menerima hadith dari sejumlah guru hadith terkemuka. Di antaranya ialah Qutaibah Imam Nasa’i Sa’id. Ia mengunjungi kutaibah ketika berusia 15 tahun, dan selama 14 bulan belajar di bawah asuhannya. Guru lainnya adalah Ishaq bin Rahawaih, al-Haris bin Miskin, ‘Ali bin Khasyram dan Abu Dawud penulis as-Sunan, serta Tirmidzi, penulis al-Jami’.
Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh para ulama yang tidak sedikit jumlahnya. Antara lain Abul Qasim at-Tabarani, penulis tiga buah Mu’jam, Abu Ja’far at-Tahawi, al-Hasan bin al-Khadir as-Suyuti, Muhammad bin Mu’awiyyah bin al-Ahmar al-Andalusi dan Abu Bakar bin Ahmad as-Sunni, perawi Sunan Nasa’i.
Ketika Imam Nasa’i selesai menyusun kitabnya, As-Sunan ul-Kubra, ia lalu menghadiahkannya kepada Amir ar-Ramlah. Amir itu bertanya: “Apakah isi kitab ini shahih seluruhnya?” “Ada yang shahih, ada yang hasan dan ada pula yang hampir serupa dengan keduanya,” jawabnya. “Kalau demikian,” kata sang Amir, “Pisahkan hadith-hadith yang shahih saja.” Atas permintaan Amir ini maka Nasa’i berusaha menyeleksinya, memilih yang shahih-shahih saja, kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab yang dinamakan As-Sunan us-Sughra. Dan kitab ini disusun menurut sistematika fiqh sebagaimana kitab-kitab Sunan yang lain.
Imam Nasa’i sangat teliti dalam menyususn kitab Sunan us-Sughra. Kerananya ulama berkata: “Kedudukan kitab Sunan Sughra ini di bawah darjat Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, kerana sedikit sekali hadith dha’if yang tedapat di dalamnya.”
Oleh kerana itu, kita dapatkan bahawa hadith-hadith Sunan Sughra yang dikritik oleh Abul Faraj ibnul al-Jauzi dan dinilainya sebagai hadith maudhu’ kepada hadith-hadith tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima. As-Suyuti telah menyanggahnya dan mengemukakan pandangan yang berbeda dengannya mengenai sebahagian besar hadith yang dikritik itu. Dalam Sunan Nasa’i terdapat hadith-hadith shahih, hasan, dan dha’if, hanya saja hadith yang dha’if sedikit sekali jumlahnya. Adapun pendapat sebahagian ulama yang menyatakan bahawa isi kitab Sunan ini shahih semuanya, adalah suatu anggapan yang terlalu sembrono, tanpa didukung oleh penelitian mendalam. Atau maksud pernyataan itu adalah bahawa sebahagian besar ini Sunan adalah hadith shahih.
Sunan us-Sughra inilah yang dikategorikan sebagai salah satu kitab hadith pokok yang dapat dipercaya dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith. Sedangkan Sunan ul-Kubra, metode yang ditempuh Nasa’i dalam penyusunannya adalah tidak meriwayatkan sesuatu hadith yang telah disepakati oleh ulama kritik hadith untuk ditinggalkan.
Apabila sesuatu hadith yang dinisbahkan kepada Nasa’i, misalnya dikatakan, “hadith riwayat Nasa’i”, maka yang dimaksudkan ialah “riwayat yang di dalam Sunan us-Sughra, bukan Sunan ul-Kubra”, kecuali yang dilakukan oleh sebahagian kecil para penulis. Hal itu sebagaimana telah diterangkan oleh penulis kitab ‘Aunul-Ma’bud Syarhu Sunan Abi Dawud pada bahagian akhir huraiannya: “Ketahuilah, pekataan al-Munziri dalam Mukhtasar-nya dan perkataan al-Mizzi dalam Al-Atraf-nya, hadith ini diriwayatkan oleh Nasa’i”, maka yang dimaksudkan ialah riwayatnya dalam As-Sunan ul-Kubra, bukan Sunan us-Sughra yang kini beredar di hampir seluruh negeri, seperti India, Arabia, dan negeri-negeri lain. Sunan us-Sughra ini merupakan ringkasan dari Sunan ul-Kubra dan kitab ini hampir-hampir sulit ditemukan. Oleh kerana itu hadith-hadith yang dikatakan oleh al-Munziri dan al-Mizzi, “diriwayatkan oleh Nasa’i” adalah tedapat dalam Sunan ul-Kubra. Kita tidak perlu bingung dengan tiadanya kitab ini, sebab setiap hadith yang tedapat dalam Sunan us-Sughra, terdapat pula dalam Sunanul-Kubra dan tidak sebaliknya.
Mengakhiri pengkajian ini, perlu ditegaskan kembali, bahawa Sunan Nasa’i adalah salah satu kitab hadith pokok yang menjadi pegangan.
Sumber: Kitab Hadith Shahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah.
.
 Imam Syafi’i (150 – 204 H)
Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. (767 M) di Ghaza, Palestina, dan meninggal dunia pada hari Kamis malam Jum’at tanggal 29 Rajab 204 H (20 Januari 820M) di Pusthat, Mesir.
Para penulis biografi Imarn Syafi’i sepakat mengenai tahun kelahirannya, dan pada tahun itu pula Imam Abu Hanifah wafat di Bagdad. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai tempatnya. Ada tiga nama tempat atau daerah yang disebut-sebut, yaitu Ghazza(h), ‘Asqalan, Yaman. Ghazzah dan ‘Asqalan kebetulan terletak dalam wilayah Palestina. Yaqut dalam bukunya Mu’jam al-Udaba’ menyebut ketiga tempat itu berdasarkan tiga riwayat yang datang dari Imam Syafi’i sendiri, yaitu:

(1) “Wulidtu bi Ghazzah sanata mi’atin wa khamsin . . . “
(2) “Wulidtu bi ‘Asqalan wa ‘Asqalan bi Gllazzaft) ‘ala tsalatsi
farasilh wa kilahuma min Falasthin.”
(3) “Wulidtu bi al-Yaman wa khafat ummi ‘ala al-dhai’ah hamalatni
ilaMakkata ….”.[ Muhyiddin abdissalam Baltaji, Mauqif Imam Syf i, Mesir Mathabi' al-Ahram al-Tijariyah, 1972, hal 12.]
Riwayat yang berbeda-beda itu dapat digabungkan, yaitu beliau dilahirkan di Ghazza lalu dibesarkan di ‘Asqalan di tengah-tengah penduduk yang berasal dari Yaman. Yaqut sendiri setelah mengemukakan ketiga versi riwayat tersebut menegaskan, bahwa Imam Syafi’i dilahirkan di Ghazza(h), kemudian pindah ke ‘Asqalan sampai usia remaja. [Dr. Ahmad al-Syurbasi, Al-Aimmat al-Arba'ah, terjemahan Staf Penerbit Mutiara, Jakarta 1979, hal. 119]
Bila kita perhatikan memang Yaman cukup jauh di Selatan, sehingga tidak mungkin dia salah sebut. Kenyataan menunjukkan, bahwa di daerah Palestina banyak terdapat orang Yaman, bahkan suku ibunya termasuk suku Yamani.
Syafi’i kecil bemama Muhammad. Lengkapnya: Muhammad bin Idris. Setelah anaknya yang bemama Abdullah lahir, maka beliau dipanggil Abu Abdillah. Silsilah leluhumya bertemu dengan silsilah Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf sebagaimana terlihat pada silsilah berikut: “Abu Abdillah, Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin al-Saib bin’Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf’. [Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyah, Kairo: Mathba'ah al-Madani, tt, hal 246]
Abdu Manaf ini mempunyai empat orang puha, yaitu al- Muththalib, Hasyim, Abdu Syams dan Noufal. Kepada al-Muththalib inilah Syafi’i menisbatkan dirinya, dan al-Muththalib ini pula yang mengasuh Abdul Muththalib bin Hasyim, nenek Nabi Muhammad SAW.
Seperti juga ayahnya, maka Imam Syafi’i pun bersuku Quraisy. Hal itu berbeda dengan ibunya, Fathimah binti Abdillah al-Azdiyah yang bersuku Yaman. Sebenamya orang tua Imam Syafi’i itu penduduk Makkah. Tetapi pada suatu ketika mereka pergi ke Ghazza(h) untuk suatu keperluan, lalu mereka tinggal di perkampungan orang-orang asal Yaman, dan meninggal dunia di sana ketika Syafi’i masih bayi.
Hidup dalam keadaan yatim bersama ibunya yang miskin, namun mulia dalam keturunan telah membentuk pribadi Syafi’i menjadi orang yang dekat dengan masyarakat lingkungannya dan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Mungkin keadaan itu pula yang menyebabkannya berfikir tidak terlalu rasional tapi tidak pula terlalu hadisional. Berbeda dengan Abu Hanifah yang hidup serba berkecukupan dalam keluarga saudagar kaya; dan berbeda pula dengan Imam Mdik yang walaupun pada mulanya mengalami hidup miskin tapi akhimya beliau juga hidup berkectd<upan, bahkur tergolong kaya. [Dr. Ahmad al-Syurbasi, op cit, hal. 77]
Imam Syafi’i pun selama berada di Madinah tinggal di rumah Imam Malik secara gratis, bahkan ketika Imam Syafi’i hendak pergi ke Iraq beliau disangoni uang untuk bekal dan biaya perjalanan. [Munawar Khalil op cit, hal. 167]
PENDIDIKAN
Bakat untuk menjadi alim besar oan mujtahid mandiri (mustaqil) xtdahmulai tampak dan tumbuh sejak rnasih kecil. Hal itu dapat dilihat pada ingatan dan hafalannya yang kuat, rninat dan semangat belajamya yang tinggi, ditunjang oleh kerajinan dan ketekunan yang tak kenal lelah. Bukti menunjukkan, bahwa ia sudah hafal serta telah menguasai isi kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia sepuluh tahun.  Bahkan ia telah hafal al-Qu/an pada usia tujuh tahun. [Syarbini al-Khatib,  Mughny al-Muhtaj, Mesin Musthafa al-Babi al-Halabi, 1985, hal 13]
Ia pemah tinggal di perkampungan Bani Hudzail untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan bahasa dan sasha Arab yang masih mumi dan asli, sehingga ia pun terkenal sebagai penyair yang mempesona pendengamya. Ia hidup bergaul dengan warga kabilah tersebut, mempelajari adat istiadat mereka dan cara hidup mereka sehari-hari. Kemudian ia belajar ilmu fiqh pada seorang alim besar, mufti kota Makkah dan guru besar di Masjidil haram bernama Muslim bin Khalid al-Zanji. Bahkan pada usia 15 tahun ia sudah mendapat kepercayaan dari sang guru untuk memberi fatwa di depan majlis yang banyak dikunjungi oleh ulama-ulama terkenal dari seantero pelosok dunia Islam ketika itu; di samping ia sendiri terus menambah ilmunya.
Di samping itu ia belajar ilmu hadits pada seorang ulama hadits kenamaan, al-Imam Sufyan bin’Uyainah (107 – 198 H). Karena merasa ilmunya masih kurang ditambah pula oleh adanya dorongan para ulama dan guru-gurunya yang berada di kota Makkah maka pergilah ia mengunjungi Imam Malik di Madinah untuk berguru dan bergaul. Di Madinah ia memperdalam ilmu tentang fiqh dan hadits, sehingga ia dikenal itu sebagai murid dan pengikut Imam Malik.
Apabila kita perhatikan riwayat-riwayat yang menceritakan tentang kegiatan dan usaha Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu, kita akan menemukan bermacam versi dan variasi, daq riwayat-riwayat itu bersumber dari beliau sendiri. Kalau riwayat-riwayat itu digabungkan maka akan diperoleh suatu gambaran adanya tahap-tahap yang dilalui oleh Imam Syafi’i.
Tahap-tahap itu adalah sebagai berikut:
Tahap l, masa kanak-kanak. Pada masa ini Syafi’i mulai belajar tulis baca, menghafal al-Qut’an dan beberapa buah hadits dengan cara turut menyimak pengajian yang diberikan oleh para guru di mesjid. Apa yang didengamya lalu dicatat dan dihafal. Karena keadaan ekonomi yang serba kekurangan,maka ia tidak segan-segan memanfaatkan barang-barang bekas seperti tulang,, ternbikar dan kertas-kertas bekas yang tak terpakai lagi sebagai tempat ia mencatat pelajaran sehingga ruangan tempat tidumya sarat dengan barang bekas penuh catatan. Dengan tekun catatan itu dihafalnya di luar kepala. Tidaklah heran bila pada tahap ini ia bersemboyan, bahwa “pengetahuan itu laksana binatang buruan, dan tulisan itulah talinya. Maka oleh sebab itu ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah suatu keteledoran apabila orang memburu masa lalu ia biarkan rusa itu di tengah orang ramai tanpa ikatan”.
Tahap II, masa remaja. Pada masa inilah ia pergi ke perkampungan kabilah Hudzail unfuk belajar bahasa dan adat istiadat mereka. Sekembalinya dari sana ia mulai pula belajar ilmu fiqh dan hadits serta mendapat kepercayaan memberi fatwa di Masjidilharam.
Tahap III, masa dewasa. Kegiatannya pada masa tahap ketiga ini ditandai dengan kepergiannya ke Madinah mengunjungi Imam Malik. Usianya ketika itu sudah mencapai 20 tahun. Sering ia diminta oleh gurunya (Imam Malik) membacakan isi al-Muwaththa’ di depan murid-murid madrasah Imam Malik di sana, di antara mereka terdapat pula ulama,ulama. Hal itu membuktikan, bahwa ia benar-benar telah menguasai isi kitab yang merupakan “bukuwajib”bagi mereka yang ingin mempelajari mazhab Malik pada masa itu.
Sementara itu ia mendengar pula bahwa di kota Baghdad berdiam dua orang ulama besar rnurid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah yaitu Imam Abu Yusuf dan Imam Muharnmad bin al-Hasan al-syaibani. Timbul hasra6rya untuk menyauk ilmu dari kedua ulama tersebut. Maka dengan resil dari Imam Malik berangkatlah ia ke Baghdad di Iraq itu. selama berada di kota Baghdad itu ia menjadi murid Imam Muhammad bin al-Hasan. Banyaklah kesempatannya untuk belajar, berdiskusi dan berbincang-bincang soal agama dengan sang guru; dan dapat pula ia rnenyalin dan mengutip naskah dan kitab-kitab yang terdapat di nrmah Imam tersebut.
Dengan demikian bertambah luaslah ilrnunya terutama tentang mazhab lraq yang dalam beberapa literatur disebut fiqh lragi.’ Di samping itu ia juga memperoleh pengetahuan tentang masalah-masalah peradilan dan hukum acara yang berlaku di Iraq tentang adat istiadat atau ‘uruf setempat. Imam Syafi’i rupanya menganut apa yang disebut “pendidikan seumur hidup” (the long life education) seperti diajarkan dalam Islam “thalabul ‘ilmi minal mahdi ilal lahdi”.
Bila direntang nama-nama para gurunya maka selain yang telah disebut di muka masih ada lagi nama-nama seperti Sa’ad bin Salim al-Qaddah, Daud bin Abdrrahman at-’Aththar dan AMulhamad bin Abdul ‘Aziz bin Abi Ruwad. Di Madinah beliau juga belajar pada Ibrahim bin Sa’ad al-Anshari, Abdul ‘Aziz bin Muhammad al- Darawardi, Ibrahim bin Yahya al-Usami, Muhammad bin Sa’id bin Abi Fudaik dan AMullah bin Nafi’ al-Shaig. Di Yaman Imam Syafi’i bertemu dengan ulama-ulama setempat seperti Mahaf bin Mazin, Hisyam bin Yusuf (Hakim kota Shan’a), Amer bin Salmah (sahabat al-Auza’i) dan Yahya bin Hassan (sahabat al-Laits bin Sa’ad). Di Iraq, selain belajar pada Imam Abu Yusuf dan Imam Hasan al-Syaibani, juga beliau berguru kepada Waki’ bin al-Jarrah, Abu Usamah Hammad al-Kufi, Ismail bin ‘Athiyyah al-Bashri dan Abdulwahhab bin Adilmajid al Bastui.
Memperhatikan narna-nama di atas serta tempat tinggal mereka, jelas mereka memiliki spesialisasi dalam bidang tertentu dan aliran yang tertentu pula, bahkan ada yang menganut faham muktazilah, Syi’ah dan sebagainya, dan adat istiadat yang berbeda pula. Belajar dan bergaul dengan orang-orang yang berbeda-beda keahlian, aliran dan faham serta tempat tinggal itu jelas akan memperluas cakrawala pemikirannya. Dalam diri Imam Syafi’i bertemu aliran hijazi dan iraqi alias aliran-aliran ahlul hadits dan ahlul ra’yi. Di samping itu pola pikir Mu’adz bin Jabal mengesan pula dalam otak Imam Syafi’i di mana pegangan utamanya adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sedangkan ra’yu hanya menrpakan altematif ketiga, artinya ra’yu baru dipakai bilamana hukum yang dicari tidak terdapat dalarn kedua sumber ini.
MURID-MURIDNYA
Tidaklah lengkap rasanya bila murid-murid tidak disebut di sini mengingat peranan mereka sangat besar di dalam menyebarluaskan mazhabnya. Mereka tersebar di mana-mana, terutama di Iraq dan Mesir, di samping mereka yang memilih kota Makkah sebagai tempat tinggalnya.
Di Iraq terdapat nama-nama antara lain:
(1) Al-Husein bin Muhammad al-Shabah al-Bazzar al-Za’farani (w. 260 H). Dialah yang menulis dan membukukan kitab Al-Hujjah, yang diimlakkan oleh Imam Syafi’i dan dia pula yang membacakannya di depan para peserta halaqah (pengajian) di Bagdad. Suaranya bagus dan bahasanya amat fasih. Pada mulanya dia menganut faham ‘iraqi, tetapi kemudian beralih kepada mazhab Syafi’i dan menjadi pengikut yang amat setia.
(2) Al-Husein bin Ali al-Karabisi (w. 240 H) seorang penulis yang produktif, telah menulis buku lebih seratus judul (juz). seperti juga temannya (al-Za’farani) al-Karabisi semula adalah penganut aliran iraqi, tetapi kemudian pindah kepada mazhab Syafi’i.
(3) Ahmad bin Hambal (164 – 241 H) mula berkenalan dengan Imam Syafi’i sejak di Makkah. Beliau ini seorang murid yang sangat brillian yang akhimya mendirikan mazhab sendiri.
(4) Sulaiman bin Daud al-Hasyimi (w. 220 H), berasal dari bani Abbas. Kecerdasannya menyamai Ahmad bin Hambal sehingga Imam Syafi’i pemah berucap: “Aku tidak tahu siapa di antara kedua orang ini yang lebih cerdas, Ahmad bin Hambal ataukah Suleiman bin Daud al-Hasyimi”.
(5) Ahmad bin Muhammad bin Yahya al-’Asy’ari al-Bashri, alim tentang hadits luas pengetattuannya dan berpandangan kritis, pembela mazhab gurunya sepeninggal sang guru dari kota Bagdad; lalu menggantikan gurunya mengajar di halaqah.
(6) Abu Tsaur al-Kilabi al-Bagdadi (w. 240 H), mula-mula menganut mazhab Hanafi kemudian pindah kepada mazhab Syafi’i.
Di Mesir terdapat nama-nama muridnya antara lain:
(1) Harmalanbin Yahya al-Tujibi (166 – 243H), guru Imam Muslim bin al-Hajjaj penyusun kitab shahih.
(2) Al-Rabi’bin sdaiman al-Muradi (w. 270H) yang menukil buku al-Risalah al-Jadidah dan al-tJmn karya Imarnsyafit, pindah dari Bagdad ke Mesir bersama-sama Imam Syafil.
(3) Abdullah bin Zubeir al-Humaidi (w. 219 H) juga darang dari Bagdad benama-sama Imam Syafi’i.
(4) Abu Ya’qub Yusuf bin yahya al-Bawaihi (w. 232 H). Dia lah yang menggantikan Imam Syafi’i mengajar di halaqah selama 27 tahun.
(5) Abu lbrahim.Ismail bin yahya al-Muzani (w. 264 H). Dia mengajar menggantikan al-Buwaithi mengisi lratqah, seorang ahli fiqh, banyak karyanya datam mazhab Syafi,i antara lain kitab al-Mukhtashar alKabir dan al-Shaghir.
(6) Abdurrahman bin Abdillah bin Abdilhakam (w. 257 H) seorang ahli sejarah Islam, sahabat kental Imam.Syafi’i.
(7) Muhammad bin Abdillah bin Abdilhakam (182 – 268 H). Sepeninggalan Imam Syafi’i ia kembali ke halaqah asuhan ayahnya dan mempelajari mazhab Maliki.
(8) Al-Rabi’ bin Sulaiman bin Daud at-Jizi (w. 256 H), seorang Faqih yang saleh tetapi sedikit sekali meriwayatkan buah pikiran Imam Syafi’i.
(9) Abu Bakar al-Humaidi (w 237 H), murid sekaligus sahabat Imam Syafi’i, belajar bersama-sama pada Sufyan bin’Uyaynah di Makkah kemudian pindah ke Mesir. Setelah Imam syafi’i wafat ia kembali ke Makkah.
(10) Ibnu Muqlas Abdul ‘aziz bin Umar (w. 234 H), ketika Imam Syafi’i tiba di Mesir ia segera bergabung sambil belajar.
(11) Abu Utsman Muhammad bin al-Syafi’i (w’ 232 H), putera sekaligus murid Imam Syafi’i.
(12) Abu Hanifah al-Asnawi (w’ 27lH)-orang Mesir asal Qibthi yang banyak menulis tentang mazhab Syafi’i.
SUKA DUKA KEHIDUPAN IMAM SYAFI’I
Kemangkatan Imam Malik sangat berpengaruh terhadap kehidupan lm-am Syafi’i, karena selama ia tinggal di Madinah yang cukup lama itu Imarn Maliklah yang menanggungnya. Sekarang Imam Malik telah tiada.
Pada suatu hari Wali (Gubemur) Yaman datang ke Madinah untuk ziarah ke makam Rasulullah SAW. Kepadanya diceritakan orang tentang keadaan Imam Syafi’i, kepribadiannya, kecakapannya dan ketinggian ilmunya. Maka tertariklah hati Gubemur, lalu diadakanlah pertemuan antara kedua beliau, dan tercapailah kesepakatan bahwa  al Imam akan pindah ke Yaman diangkat sebagai sekretaris Gubernur. Tak lama kemudian beliau diangkat pula menjadi sekretaris Wilayah merangkap Kepala Daerah untuk Najran.
Di samping itu beliau tetap noengajar di mesjid-mesjid di wilayah Yaman sekaligus menjadi mufti. Ketika berada di Yaman itu, beliau menikah dengan seorang puteri bangsawan bemama Hamidah binti Nafi’ bin Utsman bin’Affan. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai tiga orang anak, seorang laki-laki dan dua orang perempuan
yang laki-laki bemama Muhammad, biasa dipanggil Abu Utsman yang kemudian menjadi ulama besar pula dan qadhi di daerahnya, meninggal dunia pada tahun 240 H. Adapun yang perempuan bemama Zainab dan Fathimah.
Di Yaman beliau terkenal seorang yang adil dan jujur. Karena itu beliau sangat disegani dan dihormati orang. Namun masih saja ada orang yang tidak merasa senang dengan keadilan dan kejujuran beliau, karena sulit bagi mereka untuk membujuk dan menjilat kepadanya agar ia memenuhi keinginan rnereka, hal mana sesungguhnya sudah menjadi kebiasaan orang pada waktu itu. Karena rasa iri dan frustasi, maka mereka lancarkanlah isyu dan fitnah atas diri Imam Syafi’i. Diisyukan bahwa Imam Syafi’i turut mengembangkan faham Syi’ah dan bersekongkol untuk menentang Khalifah Harun al-Rasyid di Bagdad. Akibat isyu dan fitnah tersebut beliau ditangkap, dan bersama-sama sepuluh orang pentolan Syi’ah dibawa ke Bagdad untuk dihadapkan ke muka sidang pengadilan Khalifah. Dengan kaki terikat beliau memasuki ruang sidang sambil mengucapkan salam keislaman “Asslamu ‘alaika ya amirul Mukminin wa barakatuh”. Beliau tidak menyebut kata “wa rahmatullahi”" Khalifah menjawab: “Wa ‘alaikassalam wa rahmatullahi wabarakatuh.”
Dengan perasaan heran Harun al-Rasyid memperhatikan sikap Imam Syafi’i yang begltu tenang padahal orang-orang Syi’ah yang dibawa bersamannya dari Yaman telah dijatuhi hukuman mati. Berkata al-Rasyid: ‘Engkau mulai dengan ucapan yang Sunnah tidak mewajibkannya, sedangkan kami menjawabnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban; amat mengherankan engkau telah berani bicara dalam majelis ini tanpa izin kami”. Imam Syafi’i nenjawab: “Sesungguhnya Allah telah berfirman ddam kitabNya yang mulia:
Selanjutnya beliau berkata: ‘Tuhan apabila berjanji pasti menepatinya. Kini DIA telah mengangkat baginda menjadi khalifah di bumiNya yang luas ini dan baginda telah rnemberi rasa aman kepada hamba ketika hamba dalam ketakutan dengan ucapan “warahmatullahi”, yang berarti baginda telah melimpahkan rahmat Tuhan kepada hamba atas kemurahan hati baginda sendiri”.
Mendengar ucapan Imam Syafi’i yang fasih itu rupanya tersentuh juga hati Harun al-Rasyid lalu ia berkata: “Bukankah engkau yang mempelopori komplotan pemberontak untuk menentangku? Bukankah engkau orang yang jelas kesalahannya?”. Imam Syafi’i menjawab: “Sekarang baginda telah mengemukakan apa yang terlintas di hati baginda, maha aku pun akan menjelaskan apa yang terasa di hati hamba untuk mencari keadilan dan kebenaran. Akan tetapi dapatkah orang melahirkan perasaannya dengan saksama kalau kakinya dirantai dengan besi yang berat ini? Hamba mohon kiranya rantai yang membelit di kaki hamba ini dapat dilepas, dan hamba diperkenankan duduk secara wajar. Allah Maha kaya lagi Maha terpuji”.
Khalifah lalu memerintahkan kepada pembantunya bernama Siraj supaya melepas rantai yang melingkari kaki Imam Syafi’i. Setelah rantai terlepas Imam Syafi’i terus membaca fimtan Allah yang berbunyi:
Selesai membaca ayat tersebut lalu ia berkata: ‘Hamba berlindung kepada Allah, baginda pihak yang menyuruh datang, sedangkan hamba yang disuruh datang. Tentu baginda dapat berbuat apa saja, sedangkan hamba tak dapat berbuat apapun. Benar-benar bohong orang yang telah mengadukan hamba kepada baginda. Hamba punya dua ikatan dengan baginda; pertama, hamba dan baginda sama-sama
muslim; kedua, hamba dan baginda masih satu turunan. Baginda haruslah berpegang kepada Kitabullah. Baginda anak paman Rasulullah yang harus rnelindungi agamanya”.
Mendengar kata-kata itu Khalifah tiba-tiba jadi gembira, lalu berkata: ‘Tenangkanlah pikiran anda. Saya menghargai ilmu-mu dan juga saya menghormati ikatan darah antara kita berdua”.
Kemudian terjadilah dialog antara kedua hamba Allah itu. Khalifah bertanya: “Seberapa jauh ilmu-mu tentang Kitabullah?” Dijawab oleh Lnam Syafi’i: “Kitab Allah itu banyak, mana yang baginda tanyakan?” Khalifah menjawab: ‘Yang kutanyakan adalah kitab yang diturunkan kepada anak paman saya, Muhammad Rasulullah”. Imam Syafi’i menimpa lagi: “^Al-Qur’an dari segi apa yang baginda maksud?” “Dari segi hafalan”, kata Khalifah. Imam Syafi’i menjawab tegas: “Hamba telah hafal al-Qut’an seluruhnya; hamba tahu tempat berhenti dan tempat memulai bacaan, tentang nasikh dan mansukhnya, yang samar-samar dan yang jelas tegas, yang mutasyabih dan yang rnuhkam, yang umum dan yang khusus”. Khalifah jadi heran lalu mengalihkan pertanyaan ke soal-soal ilmu falak (perbintangan), kedokteran, firasat dan lain-lain, yang semuanya dijawab oleh Imam Syafi’i dengan sangat memuaskan. Kemudian Khalifah bertanya pula: “Bagaimana pengetahuan Anda tentang silsilah keturunan bangsa Arab?” Imam Syafi’i lalu menjelaskan: ‘Ada yang mulia dan ada yang tidak baik. Hamba tahu silsilah keturunan hamba dan keturunan baginda”. Akhirnya Khalifah berkata “Apa yang akan Anda nasehatkan kepadaku?”
Lalu Imam Syafi’i menyampaikan nasehat yang pemah diucapkan oleh Thawus al-Yamani yang rupanya amat mengesan di hati Khalifah, sehingga baginda menangis rnendengamya. Khalifah kemudian memberi hadiah buat Imam Syafi’i, tetapi kali ini ditolaknya secara halus dan sopan.Maka bebaslah Imam Syafi’i dari tuduhan dan fitnah yang dilancarkan oleh omng-orang yang tidak senang kepadanya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 184 H. ketika beliau berusia 34 tahun.
Beberapa hari kemudian Imam Syafi’i kembali mengunjungi Khalifah di istana. Pada pertemuan kali ini Khalifah memberinya hadiah berupa uang 1000 dinar, dan hadiah itu diterimanya. Akan tetapi uang itu diberikannya pula kepada pegawai-pegawai istana yang dijumpainya disepanjang jalan menuju gerbang keluar istana.
Akhimya sesampai di luar istana uangnya hanya tinggal sedikit lalu diberikannya kepada pelayan istana yang bemama Siraj yang sengaja membuntutinya untuk melihat apa yang dilakukan Imam Syafi’i dalam perjalanan menuju ke luar. Semua yang disaksikannya itu dilaporkannya kepada Khalifah, maka tahulah beliau bahwa Imam Syafi’i itu benar-benar seorang yang tinggi dan mulia dari keturunan bani al-Muththalib.
Pengalaman lain yang tak kurang pula berkesannya bagi Imam Syafi’i adalah pertemuannya dengan para ulama besar di masanya. Selama berada di Bagdad, kota budaya dan ilmu itu, ia sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah membahas masalah-masalah keagamaan, terutama dengan kedua murid dan sahabat abu Hanifah yakni Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, pertemuan mana kadang-kadang juga dihadiri oleh Khalifah.
Wafatnya Imam Abu Yusuf tahun 182 H. dan Imam Muhammad bin al-Hasan tahun 188 H. kemudian mangkat pula Khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 193 H. disusul pula oleh al-Amin tahun 198 H. kesemuanya itu telah mendorong al lmam untuk kembali ke Bagdad. Yang jadi khalifah waktu itu adalah al-Makmun, adik al-Amin.
Sekalipun cuma sebulan ia tinggal di Bagdad, namun ia telah sempat menarik banyak pengunjung dari segala lapisan masyarakat, para ulama, cendikiawan, pegawai pemerintahan dan lain sebagainya.
Pada suatu ketika beberapa orang ulanna di Iraq bersepakat untuk mengadakan diskusi dengan Irnam Syafi’i. Topik diskusi telah ditetapkan. Tujuan diskusi itu sebenamya untuk mencari kelernahan Imam Syafi’i, namun yang kejadian malah sebaliknya. Semua masalah yang dikemukakan dapat dipecahkan oleh Imam Syafi’i dengan sangat memuaskan, bahkan Khalifah sendiri merasapuas dankagum sehingga Khalifah menawarkan jabatan “qadhi” untuk negeri Yaman kepada beliau. Untuk tawaran itu beliau menjawab: “Mudah-mudahan Allah memanjangkan usia baginda. Saya sama sekali tidak ambisi kepada pangkat dan jabatan yang tinggi itu. Saya bermaksud hendak pergi ke Mesir, itupun jika sekiranya baginda memperkenankannya”. Khalifah menjawab: “Jika demikian baiklah, Insya’ Allah.
Mengenai karya tulisnya, imam Syafi’i banyak menulis dalam berbagai bidang ilmu. Menurut beberapa ahli sejarah beliau telah menulis sebanyak 113 buah kitab/naskah dalam pelbagai bidang ilmu yang cukup luas dan beragam seperti ushul fiqh, fiqh, tafsir, sastera dan lain-lain. Sebagian besar karya Imam Syafi’i ditulis di Iraq sekitar tahun 195 – 199 H. pada waktu ia berusia antara 45 – 49 tahun. Tidak diperoleh informasi apakah Imam Syafi’i pemah menulis buku sewaktu berada di Mekkah. Yang jelas ketika ia berada di Mekkah pemah ia menulis surat (risalah) kepada seorang ulama ahli hadits bemama Abdul Rahman bin Mahdi yang kemudian meminta Imam Syafi’i agar mau menulis buku tentang ushul fiqh. Atas permintaan itu Imam Syafi’i lalu menulis kitab yang sangat populer yaitu Al-Risalah. Ada kemungkinan bahwa kitab itu mulai ditulis ketika dia berada di kota Mekkah, dan baru dipublikasi setelah dia pindah ke Iraq dengan perbaikan-perbaikan seperlunya atas kerja sama dengan murid-muridnya di sana. Al-Risalah merupakan kitab ushul fiqh yang tertua dan dianggap kitab ushul fiqh yang pertama.
Kitab-kitab Imam Syafi’i ada yang ditulis sendiri dan ada pula yang ia imlakkan kepada murid-muridnya, seperti kepada al Za’farani dan al-Rabi’. Perlu juga diketahui bahwa tidak semua kitab yang berisi buah pikiran Imam Syafi’i itu dinisbahkkan kepada namanya, tetapi ada pula yang dinisbahkan kepada murid-muridnya, umpamanya kitab-kitab mukhtashar. Kitab-kitab beliau seperti al-Umm, al-Risalah, Ikhtilaf aI ‘Iraqiyin, Ikhtilafu Malik, Ikhtilafu ‘AIi wa’ Abdillah dan masih ada beberapa lainnya, semuanya dinisbahkan kepada namanya sendiri, isi dan lafaznya asli dari beliau. Sedangkan kitab-kitab seperti Mukhtashar al-Buwaithi dan Mukhtashar al-Muzani adalah kitab-kitab yang dinisbahkan kepada murid-murid tersebut, isi dari beliau sedangkan lafaz dan susunan kalimatnya dari orang yang mengikhtisarkannya. Selain judul-judul yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi yang lainnya, seperti lbthal al-Istihsan, Ahkam al-Qur’an, Al-Musnad, Al-Ra’du ‘ala Muhammad ibn al-Hasan, Al-Qiyas, Al-lmla’, Al-Amali, Al-Qasamah, Al-Jizyah, Qital Ahl al- Baghyi, Siyar al-Auza’i, Ikhtilafu al-H adits, Istiqbal al-Qiblataini dan lain-lain.
Di antara judul-judul tersebut ada yang hanya dapat dijumpai namanya saja dalam karya-karya ulama sesudahnya dan ada pula yang dimasukkan ke dalam judul lain. Hanya beberapa judul saja yang dapat kita temukan beredar di Indonesia antara lain al-Risalah, al-Umm, al Ahkam al-Qur’an. Mengenai al-Umm yang dipandang sebagai “Buku Induk” dalam mazhab Syafi’i perlu mendapat perhatian khusus, karena ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa al-Umm itu bukan karya Imam Syafi’i tetapi karya Buwaiti yang diberikannya kepdada al-Rabi’ untuk disebarluaskan. Pendapat tersebut dilansir oleh seorang ulama tasawuf bemarna Abu Thalib al-Makki dalam kitabnya Qut al-Qulub. Sementara itu ulama-ulama yang lain berpendapat bahwa al-Buwaithi hanyalah nnengurnpulkan apa yang ditulis atau diimlakkan Imam Syafi’i kemudian diserahkannya kepada al-Rabi’ dan oleh al-Rabi’ lalu ditambah dan dipublikasi.
Pendapat yang kedua ini tampaknya lebih benar tetapi perlu diselidiki lebih lanjut. Buwaiti bukanlah satu-satunya orang yang menulis dan meriwayatkan pendapat dan fatwa-fatwa al-Imam paling tidak masih ada dua orang lagi yang dekat dan giat mencatat dan meriwayatkan pendapat dan fatwa Imam Syafi’i selama ia berada di Iraq, yaitu al-za’farani dan al-Karabisi. sedangkan di Mesir terdapat pula nama-nama seperti Harmalah, al-Rabi’ dan lain-lain. Mengenai hubungan antara Imam Syafi’i dan al-Rabi’ ada dua hal yang perlu diperhatikan; pertama, bahwa al-Rabi’ boleh dikatakan orang yang paling rajin dan banyak mendampingi Imam Syafi’i selama di Mesir, Pada saat-saat ia tidak berada di dekat al-Imam, ia tetap mengikuti dari jauh, dan setelah berkumpul kembali maka ia tanyakan apa-apa yang tidak didengarnya selama ia absen. Jadi sedikit sekali kemungkinan al-Rabi’ tidak memiliki tulisan atau catatan langsung dari Imam Syafi’i selama ia berada di Mesir itu. Kedua, para ulama sepakat bahwa perawi kitab-kitab Imam Syafi’i adalah al-Rabi.
Dari berbagai informasi dapat kita dapati dan kemudian kita tarik kesimpulan bahwa Imam Syafi’i memang telah menyusun kitab-kitabnya; ada yang ditulisnya sendiri dan ada pula yang diimlakkannya kepada murid-muridnya, baik sewaktu ia berada di Iraq maupun setelah ia rnenetap di Mesir. Kitab-kitab ini telah dibacakan pula di hadapan murid-muridnya yang lain. Al-Za’farani adalah orang yang sangat fasih dan bagus membaca kitab-kitab Imam Syafi’i di Iraq, dan al-Rabi’ orang yang paling banyak menulis, mencatat dan meriwayatkan pendapat, fatwa dan kitab-kitab Imam Syafi’i di Mesir. Seperti diketahui, bahwa Imam Syafi’i setelah menetap di Mesir mengalami perkembangan baru dalam ijtihadnya, yaitu lahirnya pendapat atau qaul baru dalam beberapa masalah fiqh yang berbeda dengan pendapat atau qaul lama sewaktu ia berada di lraq. setelah terjadinya perubahan itu maka al-Rabi’ menulis dan meriwayatkan kembali apa yang pernah dinrlis oleh al-Buwaithi dan al-Za’farani sebelumnya (al-Hujjah atau al-Mabsut) serta memasukkan pendapat dan komentarnya sendiri. Itulah yang kita kenal sekarang dengan kitab al-Umm.
Logislah bila dikatakan, bahwa al-Umm itu intinya adalah al-Hujjah atau al-Mabsuth yang telah mengalami koreksi, penyaringan dan penambahan-penambahan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan dan adat istiadat setempat. Dalam hal ini rupanya al-Rabi’ sangatlah berhati-hati dan teliti. Redaksi (ibarat) yang terdapat di dalam naskah aslinya atau yang didengamya langsung dari Imam syafi’i tetap dipertahankannya sekalipun kadang-kadang jelas salah, namun tak lupa diberinya penjelasan. Dan apa-apa yang memang tidak didengamya langsung dari Imam Syafi’i dikatakannya bahwa dia tidak mendengarnya. Kadang-kadang al-Imam telah “meninggalkan” pendapat yang tercantum di dalam kitabnya, tetapi tulisannya masih tetap seperti apa adanya semula. Hal itu disebabkan perubahan terjadi setelah tulisan itu dibukukan. Ketika itu cukuplah bagi al-Rabi’ membubuhi keterangan atau catatan kecil bahwa dalam masalah tersebut telah terjadi perubahan.
Demikianlah kesimpulan Imam Abu zahrah yang kemudian menambahkan, bahwa bagi orang yang dapat merasakan dzauq (rasa bahasa) pastilah akan berkesimpulan bahwa gaya bahasa al-Umm tidak berbeda dengan gaya bahasa al-Risalah yaitu gaya bahasa Imam Syafi’i. Adapun bila di beberapa tempat terasa agak lain, itu hanyalah pengaruh perbedaan situasi dan kondisi sewaktu dicetuskannya pendapat tersebut serta perbedaan topik atau subjek (maudhu’) yang sedang dibicarakan.
Akhimya, dalam keadaan yang demikianlah para ulama telah datang berbondong-bondong menyalin, mencatat dan menukil kitab-kitab Imam Syafi’i itu.
.
Sumber: Imam Syafi’i, Mujtahid Tradisional Yang Dinamis, Drs. Ismail Thaliby, M.A., Kalam Mulia, Jakarta, 1993.
.
KITAB-KITAB 
[diambil dari buku: Ulama Syafi'i dan Kitab-Kitabnya Dari Abad ke Abad]
Berkata Imam Abu Muhammad Qadli Husein (wafat 462 H.) dalam Muqaddimah kitab Ta’Iiqahnya, bahwa Imam Syafi’i rhm mengarang 113 (seratus tiga belas) kitab, terdiri dari kitab-kitab fiqih, Tafsir, Adab, dll.
Memang banyak karangan beliau, diantaranya:
1. Ar Risalah. (ushul Fiqh yang pertama di dunia).
2. Al Hujjah. (fiqih qaulul qadim).
3. Al Umm (qaulul jadid – 4 jilid besar).
4. Mukhtashar al Buwaithi. (dihimpun oleh murid beliau Al Buwaithi).
5. Mukhtashar Ar Rabi’i. (dihimpun oleh murid beliau Ar Rabi’ al Muradi).
6. Mukhtashar al Muzannii. (dihimpun oleh murid beliau al Muzanni).
7. Risalah fi Bayanin Nasikh al Mansukh. (ushul fiqih).
8. Ahkamul Qur’an. (ayat-ayat hukum dalam al-Qur’ an).
9. lkhtilaful Ahadits. (Hadits)
10. Al Amaali al Kabir. (fiqih),
11. Al Fiqhul ,Akbar. (Fiqih).
12. Kitabus Sunan. (hadits).
13. Kitabul Asma wal Qabail. (sejarah).
14. Jam’i'i Muzanni al Kabir. (fiqih).
15. Jam’i'i Muzanni al Shagir. (fiqih).
16. Al Qassamah. (fiqih)
17. Qital ahlil Baghy. (fiqih).
18. Al Musnad. (Hadits).
19. Ibtalul Istihsaan. (ushul fiqih)
20. Istiqbalul Qiblatain. (fiqih).
21. AI Jizyah. (fiqih).
22. Al qiyas (ushul fiqih).
.
wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment

Jom Solat!

Anda Tak tahu solat?
Jangan malu Sila klik pada Gambar untuk melihat animasi solat yang ringkas beserta audio bacaan yang mudah difahami!


entry sal bible

http://zinnierabalqis.blogspot.com/2010/12/allah-repeal.html?showComment=1333819759810#c8330836140122267326
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...